novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Sebab Aku Berhak Bahagia
“Tepat ketika aku berjuang melawan rasa sakit karena melahirkan, aku sempat berpikir, barangkali sebaiknya aku mati saja. Dengan begitu, selesailah semua penderitaanku.”

Palu pun diketuk!
Hari ini selesailah sudah seluruh drama rumah tanggaku, di tempat yang paling muskil dan di hadapan orang-orang tak kukenal. Aneh memang! Sepuluh tahun itu, yang kumulai dengan tawa sukacita, pesta pora, dan berkumpulnya segenap keluarga, ku akhiri pada hari ini dengan banjir air mata, dalam kesepian yang mencekam dan memilukan antara aku dan ayahku, dan para hakim serta panitera. Inilah tempat yang muskil itu, tempat pertemuan terajaib di dunia bagi dua orang yang mengaku suami dan istri: Pengadilan Agama!

Maka perpisahan itupun dipertegas lagi, setelah hakim ketua mengetukkan palunya, menyatakan bahwa perceraian kami sah, kami aku dan ‘bekas’ suamiku berjalan keluar ruang sidang dan menuju arah yang berlainan.Pulang ke rumah masing-masing. Tak ada lagi saling menjemput dan mengingatkan waktu pulang. Tak ada lagi rumah yang menjadi tujuan bersama. Tak ada lagi suami dan istri. Yang ada hanyalah pribadi-pribadi. Dia dan aku. Tak ada lagi ‘kami’.

Ya….perpisahan itu nyata sudah. Statusku kini berubah sudah. Aku bukan lagi istri seseorang. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku milik Allah dan….kebebasan. Bahagiakah aku karena aku bebas? Tidak! Tak ada yang membahagiakan dari sebuah perceraian. Yang ada adalah rasa sedih karena semua ini harus terjadi, karena jalan ini harus kupilih, karena aku harus melakukan sesuatu yang meski halal tapi paling dibenci Allah, karena anak-anakku harus berpisah dengan ayah mereka. Ya! Ini adalah sebuah kerusakan. Tapi bahkan kerusakan sekalipun, ketika itu menjadi jalan satu-satunya cara untuk tetap hidup, menghindarkan diri dari kehancuran, untuk kemudian membangun hidup baru yang lebih baik, maka pilihan itupun harus diambil dan dilakukan.

Selebihnya memperkuat kesabaran dan berlapang dada menerima segala cobaan.
Maka ketika aku melewatkan malam-malamku setelah itu dengan menangis, tangisku bukanlah tangis penyesalan dan kehilangan, apalagi ketakutan. Tidak! Tangisku adalah percampuran antara rasa sedih karena harus mengalami sebuah perceraian dan gembira karena akhirnya aku berhasil membuat keputusan teramat penting dalam hidupku. Aku berhasil membuat sebuah pilihan yang meski pahit dan menyakitkan tapi kutahu merupakan pilihan yang benar agar aku tetap hidup. Hidup yang bahagia. Sebab, aku berhak untuk berbahagia.
Kilas Balik
Sungguh tak pernah terpikir olehku, akan beginilah nasib pernikahan yang sepuluh tahun lalu ku-perjuangkan mati-matian. Orang yang dulu kuyakini dapat bertanggung jawab atasku hingga aku rela meninggalkan rumah orang tuaku dan hidup bersamanya, ternyata suatu saat dapat menjadi orang yang paling tidak peduli padaku.

Betapa tipis batas antara suka dan tak suka, cinta dan tak cinta. Sikapnya yang semula baik, mulai berubah pada tahun kesekian pernikahan kami. Ia yang semula begitu kasihan melihatku bekerja keras, malah menjadi orang yang paling tega rnembiarkanku bekerja seharian dan kemudian menggunakan hasil kerjaku untuk kepentingannya; Membuka bisnis ini dan itu, yang tak satupun berhasil.

Ia juga yang kemudian menjadi penganjur nomor satu agar aku tetap bekerja, sebab bila tidak maka rumah tangga kami akan limbung dan segala mimpi kami untuk dapat hidup berkecukupan akan hancur. Ia bahkan membiarkanku bekerja di daerah lain, memisahkanku dengan kedua anak kami.

Bahkan ketika anak ketiga kami lahir, dan aku ingin berhenti bekerja, ia tetap meyakinkanku bahwa sebaiknya aku tak berhenti bekerja. Ia bahkan lebih suka melihatku pindah ke daerah tempatku bekerja dengan membawa ketiga anak kami. Sementara ia tetap di daerah asal kami dengan alasan ia tak mungkin meninggalkan dinasnya.
Maka begitulah. Perkawinan kami kian aneh saja. Aku yang lebih banyak menafkahi keluarga. Di satu pihak, aku menyadari bahwa rumah tanggaku mulai timpang. Ada ketidakpuasan pada diriku dengan posisiku dalam rumah tangga. Ada yang salah. Aku iri melihat para istri yang berderet di depan ATM pada hari gajian suami-suami mereka. Aku iri melihat para ibu dengan tenang mengantar anak-anak mereka ke sekolah setelah melepas suami pergi bekerja. Aku iri melihat para ibu sibuk menyiapkan penganan sore hari untuk suami yang baru pulang bekerja, kemudian duduk bersantai di depan rumah se mbari memandangi dan sesekali mentertawai kelucuan perilaku anak-anak mereka yang bermain di ha laman. Sungguh gambaran yang jauh dari rumah tanggaku.

Di daerah asing, aku sendirian. Suamiku dengan tenang melepasku bekerja. Setiap pagi hatiku pilu meninggalkan anak-anakku di tangan pembantu rumah tanggaku. Melihat anak keduaku menangis dan anak ketiga yang belum mengerti apa-apa berada dalam gendongan pembantuku.

Sepulang bekerja, dalam keadaan lelah, aku masih harus mengajari si sulung pelajaran sekolahnya dan menunda waktu bersama si tengah dan si bungsu. Pedih hati ini karena begitu sedikit waktu untuk ketiga anakku. Tapi aku sendirian. Sungguh tak guna untuk terlalu banyak mengeluhkan keadaan.

Aku tak mungkin memprotes suamiku. Tentulah ia benar menyuruhku untuk terus bekerja dan melepasku pergi ke daerah lain. Tentulah ia punya alasan yang baik, bahwa semua ini untuk kebahagiaan kami. Maka aku terima.

Bukankah aku ingin menjadi istri yang baik? Maka aku tak boleh berpikiran buruk tentang suamiku.

Tak mungkin ia bermaksud jahat dan hanya me-manfaatkanku saja. Bukankah ia suamiku dan ayah anakanakku? Maka ketika pikiran buruk itu berbagai prasangka yang kutujukan pada suamiku karena membiarkanku bekerja bahkan ke daerah lain datang, segera saja kusingkirkan dari benakku. Suamiku adalah orang yang mencintaiku dan aku harus percaya padanya.

Ketika ia memintaku membeli mobil, tentunya karena ia ingin agar ketika kami berkumpul bersama, ia dapat membawa kami semua sekaligus. Atau ketika ia memintaku membeli tanah dan rumah atas namanya, tentunya ia berpikir bahwa menggunakan namanya akan jauh lebih aman. Sebab ia lelaki, katanya. Dan jauh lebih mudah mengurus semua surat jual beli sebab ia pegawai negeri. Tentu ia benar dengan semua itu. Atau ketika ia meminta modal dari-ku untuk berbisnis ini dan itu, tentulah ia ingin agar aku segera dapat berkumpul dengannya. Meski kemudian semuanya gagal karena ia tak pandai mengurusnya.

Maka selama hampir tujuh tahun kami menjalani kehidupan seperti itu. Terpisahkan oleh jarak. Beberapa kali aku mencoba menggali jalan pikiran suamiku tentang keadaan kami yang terpisah, tapi yang kudapatkan hanyalah ketidakpedulian tersamar. Suamiku selalu berkata, bahwa aku harus tetap bekerja demi masa depan keluarga kami. Setiap kali aku menanyakan kapan ia akan mengeluarkanku dari situasi seperti ini,ia selalu berkata bahwa aku harus realistis. Tanpa penghasilanku rumah tangga kami akan kolaps.

“Kalau begitu, apa usaha Abang untuk melepaskanku dari situasi ini?” tanyaku selalu. Tetapi jawaban yang kuterima sungguh mengecewakan,